SANEPO â Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengambil langkah signifikan dalam teknologi inklusif dengan mengembangkan AI untuk penyandang disabilitas.
Inovasi yang berpusat pada speech recognition (pengenalan suara) dan facial expression recognition (pengenalan ekspresi wajah) ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan komunikasi dan memastikan akses teknologi yang lebih merata bagi semua kalangan.
Inisiatif ini diumumkan sebagai bagian dari upaya BRIN untuk memanfaatkan kecerdasan artifisial (AI) dalam mengatasi tantangan sosial.
Riset ini secara spesifik dirancang untuk mendukung aktivitas para penyandang disabilitas, terutama mereka yang mengalami kesulitan dalam mendengar atau berkomunikasi secara verbal.
Suara sebagai Alat Komunikasi Humanis
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Hilman Ferdinandus Pardede, menyatakan bahwa teknologi pengenalan suara dapat membuat interaksi menjadi jauh lebih alami.
âSpeech recognition membuat komunikasi menjadi lebih alami dan manusiawi. Tidak perlu menyentuh atau melihat, cukup dengan suara,â kata Hilman dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
Meski demikian, ia mengakui riset ini masih menghadapi tantangan besar, seperti adaptasi terhadap beragam aksen, tingkat kebisingan lingkungan, dan kondisi pengguna yang bervariasi.
“Inovasi yang efisien dan hemat sumber daya sangat penting agar teknologi ini dapat diakses lebih luas, termasuk oleh pengguna dengan perangkat sederhana,” tambahnya, menegaskan bahwa AI harus menjadi sarana pemerataan akses.
Baca Juga : Peluang Emas! Cara Klaim Saldo DANA Gratis Rp540.000 Langsung Cair, Cukup Pakai HP
Ekspresi Wajah Jembatani Keterbatasan Verbal
Di sisi lain, Perekayasa Ahli Madya PRKAKS BRIN, Gembong Satrio Wibowanto, menjelaskan potensi teknologi pengenalan ekspresi wajah atau Facial Expression Recognition (FER) sebagai sarana komunikasi alternatif.
âFER menjadi salah satu bidang yang menarik karena bisa membantu mereka yang mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal,â ujar Gembong.
Penelitian BRIN saat ini difokuskan pada pengembangan sistem yang adaptif dan dapat bekerja secara real-time. âTeknologi ini diharapkan mampu mendeteksi emosi pengguna secara akurat, sehingga interaksi antara manusia dan mesin dapat berlangsung lebih empatik dan intuitif,â jelasnya.
Proyek BRIN kembangkan AI disabilitas ini menjadi harapan baru dalam interaksi teknologi.
Teknologi untuk Kesetaraan, Bukan Belas Kasihan
Kepala PRKAKS BRIN, Anto Satriyo Nugroho, menegaskan komitmen bahwa teknologi harus dapat diakses oleh semua pihak tanpa terkecuali.
Ia mencontohkan inovasi lain seperti screen reader bagi penyandang disabilitas netra yang telah terbukti sangat membantu.
Pandangan ini diperkuat oleh Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Rachmita Maun Harahap, yang menyoroti pentingnya perspektif hak dalam pengembangan teknologi.
Menurutnya, inovasi semacam ini bukanlah bentuk amal, melainkan alat perjuangan.
âTeknologi itu bukan belas kasihan, tapi alat untuk memperjuangkan kesetaraan,â tegas Rachmita.
Pernyataan ini menggarisbawahi tujuan akhir dari proyek BRIN kembangkan AI disabilitas, yaitu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
***





